
Kanalbhayangkara.com – Jakarta Pusat | Sebagaimana dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakpus yang dipublikasikan untuk umum, Senin (21/10/2022), Mantan Kepala BPN DKI Jakarta Jaya SH., MM. mulai diadili dengan nomor perkara 545/Pid.B/2022/PN Jkt.Pst. dengan dakwaan pemalsuan dokumen untuk pembatalan Surat Hak guna Bangunan (HGB).
Dalam http://sipp.pn-jakartapusat.go.id/index.php/detil_perkara disebutkan dakwaannya yakni :
“Terdakwa Jaya SH MH yang pada saat itu menjabat Kepala Kantor Wilayah BPN Pr ovinsi DKI Jakarta, pada hari Senin tanggal 30 September 2019 sekira pukul 10.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain dalam bulan September 2019 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2019, bertempat di Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, yang dapat menimbulkan kerugian. Perbuatan Terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP.
Selain itu, jaksa juga mendakwa Jaya dengan Pasal 263 ayat 2.
——- Bahwa Terdakwa JAYA, S.H., M.M. yang pada saat itu menjabat Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta, pada hari Senin tanggal 30 September 2019 sekira pukul 10.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain dalam bulan September 2019 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2019, bertempat di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta yang beralamat di Jalan Taman Jati Baru No. 1, Tanah Abang, Jakarta Pusat, atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pada persidangan hari ini Senin 28 November 2022 Mantan Kepala BPN DKI Jakarta, Jaya, SH. MM. Kembali menghadirkan saksi a de charge yaitu saksi ahli yang meringankan perkaranya. Hadir Saksi Ahli Hukum Tata Negara (HTN) Prof. Dr. Zainal Arifin, Saksi Ahli Hukum Perdata Prof. Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan, SH., MH. dan Saksi Ahli Hukum Pidana Prof. Dr. Suparji Ahmad, SH.,MH.
Menurut Saksi Ahli Hukum Tata Negara (HTN) Prof. Dr. Zainal Arifin bahwa dalam perspektif Hukum Tata Negara Surat Keputusan Nomor 13 yang dikeluarkan Mantan Ka Kanwil BPN DKI Jakarta Jaya SH., MH. yang didasarkan oleh sebuah jabatan tertentu sebagai pejabat Tata Usaha Negara memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan berakibat hukum, oleh karena itu berdasarkan pasal 52 Undang Undang 30 Tahun 2014 ada 3 syarat terkait pengambilan keputusan yaitu pejabat yang mengambil keputusan, kedua prosedur dan ketiga adalah substansi yang sesuai dengan obyek.

SK nomor 13 lahir karena perintah peraturan dan permintaan ( permohonan ) masyarakat, apakah permohonannya itu sesuai dengan peraturan perundangan atau tidak, maka setelah diterima maka ada kewajiban dari yang termohon tadi untuk memproses. Prosesnya adalah pertama harus dilihat data fakta, baik administrasi maupun lapangan. Harus ada kajian yang mendalam sehingga pejabat yang bersangkutan tidak salah memutuskan sesuatu. Oleh karena itu dalam peraturan kementerian agraria nomer 11 tahun 2016 Kepala BPN ada ketentuan bahwa ada 2 perselisihan, ada karena permohonan, karena ada surat permohonan masyarakat harus diproses dan seluruh unsur yang berkaitan dengan permohonan tersebut memberikan atensi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Prosesnya melalui kajian kajian. Di strukstur organisasi baik di kementerian maupun di kantor wilayah ada satu unit penyelesaian sengketa. Nah, lalu semua pejabat ini harus mengikuti untuk meneliti dan mengganti substansi dari permohonan itu. Prosedur prosedur ini harus dilalui. Kalau pejabatnya tidak melalui prosedur tersebut pejabatnya salah, tapi kalau sudah melalui prosedur maka pejabat itu sudah melaksanakan pasal 52 ayat 1 yaitu setiap keputusan harus melalui prosedur.
Menurut pandangan Ahli Hukum Tata Negara dalam persidangan bahwa SK 13 sudah sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh peraturan Menteri nomor 11 tahun 2014.
Kalau menurut Hukum Tata Negara tidak ada Surat Keputusan yang palsu, yang ada adalah sudah melalui prosedur yang benar, sesuai kewenangan dan obyeknya sesuai dengan substansinya. Terkait masalah palsu atau asli masuk dalam ranah hukum pidana.
Dalam konteks masalah pidana soal asli dan palsu harus ada pembanding, harus ada yang asli dan yang palsu yang dipersoalkan. Dan SK 13 merupakan cacat administratif bukan pidana.
Masih menurut Prof Zainal Arifin bahwa SK 13 juga hanya merupakan pembatalan TANDA HAK, BUKAN Membatalkan Hak Kepemilikan Atas Tanah.

Sementara itu, Saksi Ahli Hukum Perdata Prof. Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan, SH., MH. menerangkan dari sisi Hukum Perdata Produk hukum Surat dari Pejabat TUN termasuk akta otentik. Apabila ada yang keberatan dengan Akta Otentik dapat diperkarakan di PTUN. Kalau memang terjadi kesalahan dapat diproses (diterbitkan) Kembali setelah dikoreksi. SK 13 tidak membatalkan HAK kepemilikan atas Tanah, tapi hanya mengkoreksi tanda kepemilikan. Hak kepemilikan hanya dapat dirubah melalui keputusan pengadilan bukan oleh Sebuah Surat Keputusan. Dan penyelesaiannya tidak harus melalui laporan ke polisi. Cacat administrative harus diperbaiki secara administrative, karena belum terdapat kerugian perdata.
Hak Kepemilikan atas tanah hanya dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Sedangkan sertifikasinya hanya merupakan persoalan administrasi. Pembatalan sertifikat tidak membatalkan hak, dan tidak menimbulkan kerugian perdata.
Prof. Fauzie memberikan pandangan dari desertasi program Pasca Sarjana Universitas Jaya Baya bahwa, UU Nomer 5 tahun 1970 terjadi kekosongan yang mengatur tata cara proses pembatalan hak, hanya diatur tingkat keputusan Menteri dan Peraturan Menteri, jadi karena kekosongan yang terjadi tidak ada peraturan yang pasti, akhirnya kementerian agraria meneteskan beberapa peraturan tentang prosedur tata cara pelaksanaan ini. soal nanti peraturan tersebut dapat terkorelasi dengan ketentuan peraturan tersebut atau tidak itu persoalan lain. Tapi bahwa soal kasus pembatalan hak itu harus diatur oleh Undang undang bukan oleh keputusan Menteri. Tetapi karena ruang kosongnya tidak ada, maka mau tidak mau inilah sebagai pedoman. Kalau begitu keadaannya, maka kita harus bisa memberikan keleluasaan untuk proses administrasi bisa berjalan, jadi tidak langsung an-sich bahwa pemerintah harus dapat kita pidanakan. Ini pendapat beberapa desertasi yang kami buat di program pasca sarjana jaya baya.” Pungkasnya.
Saksi Ahli Hukum Pidana Prof. Dr. Suparji Ahmad, SH.,MH. menjelaskan soal Pembatalan Surat Hak guna Bangunan (HGB) melalui SK nomor 13 harus memiliki Aspek prosedur, aspek kewenangan dan aspek substansi. Pembatalan Surat Hak guna Bangunan (HGB) melalui SK nomor 13 tidak dapat dikatakan sebagai pidana apabila sudah menempuh aspek aspek tersebut.
Pejabat Tata Usaha Negara yang menjalankan perundang-undangan apabila sudah memenuhi ketiga aspek diatas, tidak dapat dipidana. Karena Pejabat TUN tersebut hanya melaksanakan ketentuan perundang-undangan.
Untuk pasal 263 KUHP dapat diterapkan kalau memenuhi unsur unsurnya. Unsur unsur dalam pasal 263 KUHP ayat 1.
Dalam pemenuhan unsur itu pilihannya adalah kumulatif atau alternatif. Bukan mutlak atau tidak mutlak. Maka unsur unsur dalam pasal 263 ada yang bersifat kumulatif dan yang bersifat alternatif. Kumulatif adalah berkaitan dengan unsur subyeknya, barangsiapa. Kedua berkaitan dengan unsur membuat atau kemudian memalsu yang dalam hal ini adalah bersifat alternatif, yaitu salah satu bisa dipenuhi. Kemudian yang ketiga berasal dari surat atau obyeknya, dimana bersifat alternatif dari 4 hal .
Kemudian berikutnya adalah unsur tentang memakai atau kemudian menyuruh orang lain memakai juga harus terpenuhi. Unsur berikutnya adalah tentang kerugian. Jadi ada yang bersifat kumulatif dan bersifat alternatif. Yang alternatif adalah membuat dan kemudian memalsu. Alternatif juga kemudian menimbulkan hak dan jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Unsur berikutnya adalah memakai dan menyuruh. Surat tersebut yang seolah olah benar dan tidak palsu itu harus terpenuhi dalam unsur unsur pasal 263 ayat 1. Konsekwensi hukumnya apabila unsur unsurnya tidak terpenuhi maka tidak dapat dikatakan memenuhi unsur untuk dipidana.
(Carlla P./Dharma/ Zainul)